Tuesday, June 05, 2007

Guru MENANGIS tak perlu?


Intimidasi terhadap sejumlah guru yang mengungkap kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional di Kota Medan dan sekitarnya semakin gencar, mulai dari pemecatan sampai dengan teror pembunuhan. Menghadapi tekanan yang demikian, mereka meminta perlindungan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta (Kompas, 9 Mei).

Hal tersebut direspons oleh Komisi X DPR yang menyatakan akan melindungi saksi yang mengetahui kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2007 (Kompas, 10 Mei).

Perlu dipertanyakan, sejauh mana pernyataan tersebut dapat memberikan rasa aman lahir maupun batin?

Sejarah membuktikan bahwa dari dulu sampai sekarang belum ada satu pun partai politik, organisasi massa, atau lembaga negara yang mampu meningkatkan kesejahteraan guru dan memberikan perlindungan kepada guru.

Banyak elite politik membicarakan nasib guru, mengklaim dirinya berkomitmen pada pendidikan, tetapi hanya untuk kepentingan propaganda politik.

Zaman keemasan yang pernah dinikmati guru pada tahun 1950 bukan karena jasa penguasa, bukan pula hasil perjuangan partai politik, melainkan kerja keras dan perjuangan guru sendiri.

Saat itu guru memiliki posisi yang terhormat secara ekonomis, politis, maupun profesional. Supremasi guru sejajar dengan dokter, pengacara, dan pejabat struktural pemerintahan. Tak pelak, pemerintah selalu melibatkan guru dalam proses pengambilan keputusan strategis.

Seiring dengan perubahan zaman, di mana para elite politik saling berebut kekuasaan, posisi strategis guru menjadi incaran partai-partai politik.

Proses "penjinakan" kinerja guru dilakukan secara sistematis oleh partai politik yang berkuasa. Penganugerahan gelar "pahlawan tanpa tanda jasa" tak mendorong para guru untuk semakin menyadari hak-hak otonom mereka, tetapi membuat mereka semakin terlena dan terpuruk.

Keberhasilan elite politik terlihat pada awal tahun 1960-an dengan menggeser posisi sentral guru ke lingkaran marjinal. Pada pertengahan tahun 2000-an guru benar-benar berada pada posisi marjinal; posisi tawar mereka sirna.

Akibatnya, guru tidak lagi dilibatkan dalam pengambilan kebijakan pendidikan, bahkan hak otonom guru untuk mengevaluasi hasil belajar para siswa dirampas oleh UN. Jelas sekali bahwa ini merupakan pengingkaran para penguasa terhadap upaya pemenuhan hak otonomi guru. Upaya renovasi kurikulum pun tidak pernah menempatkan guru sebagai sumber pengembangan atau mitra dialog.

Pelibatan guru tak lebih hanya pada tataran implementasi produk penguasa. Tidak heran, jika dalam melaksanakan profesinya selaku pendidik, guru kesulitan mengaktualisasikan visi pendidikan nasional secara utuh. Ini semua merupakan akibat pemangkasan hak-hak otonom guru oleh para penentu kebijakan.

Organisasi profesi


Zaman keemasan yang pernah digenggam para guru harus membangkitkan kembali semangat untuk menjadi sebuah kekuatan pembaru ke dalam organisasi profesi guru yang independen, yang menjadi kekuatan sentral perjuangan guru dan tidak berafiliasi pada partai politik atau menjadi onderbouw-nya. Yang penting harus berpijak pada kepentingan guru, kepentingan pendidikan (the best interest education), dan lebih demokratis. Itu semua hendaknya dapat menjadi "khitah".

Oleh sebab itu, perjuangan guru tak boleh dilakukan sambil lalu, spontan, dan tanpa perencanaan. Perjuangan seorang diri (Ibu Nurlaila), secara kolektif (Komunitas Air Mata Guru), dan demonstrasi ke jalan (di Madiun, Nganjuk, Surabaya, Purbalingga, NTT, Papua, Bandarlampung, Padang, dan Kampar) bisa jadi hanya akan menghasilkan short-term effects, dan hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Organisasi profesi guru merupakan conditio sin aqua non. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya Pasal 41 menegaskan bahwa (1) Guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen; (2) Organisasi profesi berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat; (3) Guru wajib
menjadi anggota organisasi profesi.

Dengan demikian tidak ada alasan bagi guru untuk menyampaikan aspirasinya terhadap berbagai permasalahan pendidikan kepada partai politik atau lembaga lainnya. Sebab, organisasi profesi guru itu sendiri punya kewenangan untuk menetapkan dan menegakkan kode etik guru, memberikan bantuan hukum kepada guru, memberikan perlindungan profesi kepada guru, melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru, dan memajukan pendidikan nasional (Pasal 42).

Masalahnya, bagaimana guru menghimpun kekuatan mereka sendiri yang selama ini masih tercerai-berai oleh beragam persoalan.

Pertama, masih terdapatnya "kastanisasi" (guru swasta/negeri, guru tetap/tak tetap, guru bantu, guru kontrak). Kedua, belum terdapatnya kesamaan visi di kalangan guru. Ketiga, belum adanya kesadaran kolektif (collective conscience) di kalangan guru.

Kesadaran kolektif oleh Paulo Freire ditafsirkan sebagai proses di mana manusia berpartisipasi secara kritis dalam aksi perubahan (Politik Pendidikan, 1999 : 183). Kesadaran bukan sekadar refleksi terhadap realitas, tetapi merupakan proses penyadaran yang terus berlanjut hingga asumsi baru tercipta.

Menimbang berbagai masalah yang mendera nasib guru dan dunia pendidikan sebagaimana terurai di atas, pembentukan organisasi profesi guru tak dapat ditunda lagi! Cucuran air mata guru meski mengundang simpati, tak akan menyelesaikan permasalahan kendidikan yang begitu kompleks.

Justru dunia pendidikan patut menangis jika guru tidak mampu membentuk sendiri organisasi profesinya!

Bonaventura Suprapto Dosen Unika Darma Cendika Surabaya


Labels:

4 Comments:

Blogger Smk Pgri 31 Jakarta said...

guru.....diguguh dan ditiru......( apanya yah ).jadi guru pernah mencapai zaman gemilang yah pak.... Ane dukung pak n kalo perlu bikin gerakan Guru Bukan Ajang Komersilasasi ( yuup ) atau yang lainnya dech.... Bikin Guru Lebih Hidup

9:04 AM  
Blogger DEDI DWITAGAMA said...

satuju ... kita bikin guru lebih hidup ^--^, thx 4 dropping

10:26 AM  
Blogger MAZZBUDDY MPWK said...

Perlindungan terhadap guru yang mengalami intimidasi dari berbagai pihak adalah tugas Polisi, demikian pendapat yang disampaikan oleh Mendiknas beberapa hari yang lalu. Tapi walaupun itu tugas polisi, seharusnya Mendiknas dapat menciptakan suasana lebih tenang dan ayem. Semoga

2:16 PM  
Blogger DEDI DWITAGAMA said...

Setuju Mas Buddy ... thx 4 comment

5:07 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home