Wednesday, June 13, 2007

Terima Kasih, BERPINDAH ALAMAT


Sejak November 2005
atas motivasi dari adik tercinta
Agus Sampurno
Saya mulai menulis di blog
yang makin hari makin mengasyikkan
hingga terasa ada yang kurang
bila semingu tak posting

Hingga Juni 2007 sudah 167 posting,
kebutuhan untuk menulis terus mengarus
polanya makin panjang
sudah mencoba tip dari blogger lain
tapi membuat resume atau split artikel
tak kunjung bisa

Keputusan sudah diambil
agar tulisan panjang bisa dibuat
dengan penampilan ringkas di halaman depan
saya berpindah ke kompleks tetangga

Terima kasih
atas kesediaan anda berkunjung atau berkomentar
di blog saya
Saya masih tetap bisa dijumpai
kapanpun anda perlukan, please click here

My New Blog at http://dedidwitagama.wordpress.com

Labels:


Read more!

Monday, June 11, 2007

Jumpa terakhir

Pertemuan kami yang terakhir
ditandai dengan isak tangis
air mata haru
lepas dari pengunjung
di kediaman Bendri Pardomuan Tamba
di Kavling Semper Jakarta Utara

Dini, perwakilan Siswa
tak kuasa menahan air mata
selamat jalan sahabat
semoga segera temukan
tempat berdampingan dengan BAPAK
di sorga
amin

Labels:


Read more!

Saturday, June 09, 2007

Selamat Jalan Pak Bindri

Rekan kami,
guru Olah Raga SMK Negeri 3 Jakarta,
Bapak Bindri Pardomuan telah berpulang
pagi ini Sabtu 9 Juni 2007, karena sakit ...

kami semua merasa kehilangan
dan mendoakan beliau
semoga diterima disisiNya

Banyak kenangan
yang pernah kami lalui bersama ...
biarlah akan menjadi catatan
yang terbawa bersama zaman

Labels:


Read more!

Tuesday, June 05, 2007

Guru MENANGIS tak perlu?


Intimidasi terhadap sejumlah guru yang mengungkap kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional di Kota Medan dan sekitarnya semakin gencar, mulai dari pemecatan sampai dengan teror pembunuhan. Menghadapi tekanan yang demikian, mereka meminta perlindungan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta (Kompas, 9 Mei).

Hal tersebut direspons oleh Komisi X DPR yang menyatakan akan melindungi saksi yang mengetahui kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2007 (Kompas, 10 Mei).

Perlu dipertanyakan, sejauh mana pernyataan tersebut dapat memberikan rasa aman lahir maupun batin?

Sejarah membuktikan bahwa dari dulu sampai sekarang belum ada satu pun partai politik, organisasi massa, atau lembaga negara yang mampu meningkatkan kesejahteraan guru dan memberikan perlindungan kepada guru.

Banyak elite politik membicarakan nasib guru, mengklaim dirinya berkomitmen pada pendidikan, tetapi hanya untuk kepentingan propaganda politik.

Zaman keemasan yang pernah dinikmati guru pada tahun 1950 bukan karena jasa penguasa, bukan pula hasil perjuangan partai politik, melainkan kerja keras dan perjuangan guru sendiri.

Saat itu guru memiliki posisi yang terhormat secara ekonomis, politis, maupun profesional. Supremasi guru sejajar dengan dokter, pengacara, dan pejabat struktural pemerintahan. Tak pelak, pemerintah selalu melibatkan guru dalam proses pengambilan keputusan strategis.

Seiring dengan perubahan zaman, di mana para elite politik saling berebut kekuasaan, posisi strategis guru menjadi incaran partai-partai politik.

Proses "penjinakan" kinerja guru dilakukan secara sistematis oleh partai politik yang berkuasa. Penganugerahan gelar "pahlawan tanpa tanda jasa" tak mendorong para guru untuk semakin menyadari hak-hak otonom mereka, tetapi membuat mereka semakin terlena dan terpuruk.

Keberhasilan elite politik terlihat pada awal tahun 1960-an dengan menggeser posisi sentral guru ke lingkaran marjinal. Pada pertengahan tahun 2000-an guru benar-benar berada pada posisi marjinal; posisi tawar mereka sirna.

Akibatnya, guru tidak lagi dilibatkan dalam pengambilan kebijakan pendidikan, bahkan hak otonom guru untuk mengevaluasi hasil belajar para siswa dirampas oleh UN. Jelas sekali bahwa ini merupakan pengingkaran para penguasa terhadap upaya pemenuhan hak otonomi guru. Upaya renovasi kurikulum pun tidak pernah menempatkan guru sebagai sumber pengembangan atau mitra dialog.

Pelibatan guru tak lebih hanya pada tataran implementasi produk penguasa. Tidak heran, jika dalam melaksanakan profesinya selaku pendidik, guru kesulitan mengaktualisasikan visi pendidikan nasional secara utuh. Ini semua merupakan akibat pemangkasan hak-hak otonom guru oleh para penentu kebijakan.

Organisasi profesi


Zaman keemasan yang pernah digenggam para guru harus membangkitkan kembali semangat untuk menjadi sebuah kekuatan pembaru ke dalam organisasi profesi guru yang independen, yang menjadi kekuatan sentral perjuangan guru dan tidak berafiliasi pada partai politik atau menjadi onderbouw-nya. Yang penting harus berpijak pada kepentingan guru, kepentingan pendidikan (the best interest education), dan lebih demokratis. Itu semua hendaknya dapat menjadi "khitah".

Oleh sebab itu, perjuangan guru tak boleh dilakukan sambil lalu, spontan, dan tanpa perencanaan. Perjuangan seorang diri (Ibu Nurlaila), secara kolektif (Komunitas Air Mata Guru), dan demonstrasi ke jalan (di Madiun, Nganjuk, Surabaya, Purbalingga, NTT, Papua, Bandarlampung, Padang, dan Kampar) bisa jadi hanya akan menghasilkan short-term effects, dan hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Organisasi profesi guru merupakan conditio sin aqua non. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya Pasal 41 menegaskan bahwa (1) Guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen; (2) Organisasi profesi berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat; (3) Guru wajib
menjadi anggota organisasi profesi.

Dengan demikian tidak ada alasan bagi guru untuk menyampaikan aspirasinya terhadap berbagai permasalahan pendidikan kepada partai politik atau lembaga lainnya. Sebab, organisasi profesi guru itu sendiri punya kewenangan untuk menetapkan dan menegakkan kode etik guru, memberikan bantuan hukum kepada guru, memberikan perlindungan profesi kepada guru, melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru, dan memajukan pendidikan nasional (Pasal 42).

Masalahnya, bagaimana guru menghimpun kekuatan mereka sendiri yang selama ini masih tercerai-berai oleh beragam persoalan.

Pertama, masih terdapatnya "kastanisasi" (guru swasta/negeri, guru tetap/tak tetap, guru bantu, guru kontrak). Kedua, belum terdapatnya kesamaan visi di kalangan guru. Ketiga, belum adanya kesadaran kolektif (collective conscience) di kalangan guru.

Kesadaran kolektif oleh Paulo Freire ditafsirkan sebagai proses di mana manusia berpartisipasi secara kritis dalam aksi perubahan (Politik Pendidikan, 1999 : 183). Kesadaran bukan sekadar refleksi terhadap realitas, tetapi merupakan proses penyadaran yang terus berlanjut hingga asumsi baru tercipta.

Menimbang berbagai masalah yang mendera nasib guru dan dunia pendidikan sebagaimana terurai di atas, pembentukan organisasi profesi guru tak dapat ditunda lagi! Cucuran air mata guru meski mengundang simpati, tak akan menyelesaikan permasalahan kendidikan yang begitu kompleks.

Justru dunia pendidikan patut menangis jika guru tidak mampu membentuk sendiri organisasi profesinya!

Bonaventura Suprapto Dosen Unika Darma Cendika Surabaya


Labels:


Read more!

Sunday, June 03, 2007

BORObudur



Borobudur adalah sebuah "buku tua" yang terbuka. Banyak yang mencoba membacanya. Namun, seperti buku lain, kebenarannya jadi probabilistik ketika diolah oleh pikiran manusia.

Dalam terang pemahaman seperti ini, tidak ada niat sepercik pun untuk menempatkan keping-keping keindahan dalam tulisan ini sebagai satu-satunya keindahan. Untuk itu, izinkan tulisan ini melaksanakan tugas probabilistiknya.

Seperti mau diolah arsiteknya, dalam kawasan Borobudur terbentang garis lurus yang menghubungkan tiga candi: Mendut, Pawon, Borobudur. Hampir semua pengunjung biasa maupun peziarah spiritual memulai kunjungan atau setidaknya melewati Candi Mendut lebih dulu.

Kendati tidak besar, Mendut menyimpan banyak pesan. Di bagian luar, ada relief kura-kura menggigit kayu yang diterbangkan dua burung. Melihat keindahan ini, sejumlah anak berteriak gembira: "duh burung betapa indahnya ide kalian!". Kontan saja kura-kura menjawab: "bukan ide burung, ideku!". Dan setelah jatuh, matilah kura-kura dengan badan berantakan berkeping-keping.

Setiap orang boleh punya penafsiran, namun perjalanan suci menuju Borobudur seperti diingatkan di pintu awal, hati-hati dengan ego. Membuka mulut atas nama ego, berisiko begitu besar.

Kelembutan vs ketekunan

Di dalam Candi Mendut, tersimpan tiga patung megah: Buddha diapit kelembutan Avalokiteshvara dan ketekunan Vajrapani. Seperti mau berpesan, setelah sadar akan bahayanya ego, temukan kebuddhaan di Borobudur dengan dua spirit: lembut pada orang lain, penuh ketekunan pada diri sendiri.

Dapur (pawon) adalah tempat memasak. Bahannya jelas, hati-hati membuka mulut atas nama ego, untuk orang lain hanya ada kelembutan, untuk diri tersedia ketekunan. Ini yang dimasak matang di Candi Pawon.

Beda dengan makanan sebenarnya yang diolah sekali waktu di tempat tertentu, makanan batin diolah setiap saat di tiap tempat. Itu sebabnya orang-orang Zen menyebut meditasi sebagai makan ketika lapar, tidur saat mengantuk. Atau keseharian itulah meditasi. Keseharianlah tempat kita memasak makanan-makanan batin.

Meminjam pesan sejumlah guru, dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, jadilah saksi penuh kasih (compassionate witness) terhadap apa saja yang muncul saat meditasi. Baik-buruk, suci-kotor, sukses-gagal semuanya disaksikan dengan penuh kasih.

Siapa pun yang lama berlatih penuh ketekunan menjadi saksi kasih, mengisi keseharian dengan kelembutan, akan merasakan kalau Borobudur menyimpan jauh lebih dari sekadar tumpukan batu-batu yang diukir. Sebagai rangkaian makna, Borobudur kerap diceritakan sebagai gunung kehidupan, berisi alam nafsu di bawah, alam bentuk di tengah, alam
tanpa bentuk di atas. Namun, setelah membaca tanda-tanda awal di Mendut, mengolahnya dalam keseharian berisi ketekunan dan kelembutan, tersedia penafsiran lain. Borobudur adalah perjalanan pembersihan batin dari segala kekotoran (serakah, benci, bodoh, dan lainnya).

Di bagian bawah terpampang kekotoran batin yang kasar ala nafsu badaniah. Di atasnya, terpampang kisah-kisah indah Siddharta Gautama. Dari kelahiran, pencerahan sampai menjadi guru manusia sekaligus dewa. Namun, tanpa kewaspadaan cukup, kisah-kisah para suci bisa menjadi sumber kekotoran batin. Terutama jika kisah para suci digunakan untuk menghakimi kehidupan. Guru ini salah, aliran itu salah, dan jadilah kisah para suci sumber amarah, permusuhan. Mempelajari kisah para suci tentu baik, membadankannya dalam keseharian lebih baik lagi, namun waspada jika kesucian juga bisa menjadi awal kekotoran batin adalah praktik meditasi yang membuat keseharian jadi bersih.

Kesucian yang dijaga kewaspadaan inilah lalu membukakan pintu pemahaman tanpa kata. Persis seperti bagian atas Borobudur yang tidak lagi berisi relief. Hanya lingkaran sempurna, diisi stupa, di tengahnya berisi Buddha dengan mudra memutar roda Dharma. Tanpa kata, tanpa penghakiman, hanya gerak keseharian yang melaksanakan kesempurnaan ajaran.

Mudah dipahami jika Dr Rabindranath Tagore (pemenang Nobel pertama dari luar Eropa), yang datang ke Borobudur 23 September 1927, lalu menulis rangkaian kesempurnaan ala Borobudur di Visva Bharati News.

Tiap rangkaian kalimat indah Tagore tentang Borobudur selalu diakhiri dengan, "let Buddha be my refuge". Biarlah kuberlindung pada sifat-sifat bajik di dalam diri. Artinya setiap batin yang bersih akan mengambil perlindungan hanya pada sifat-sifat bajik di dalam diri.

Perhatikan puncak perjalanan Tagore saat menulis Borobudur. Bila waktunya tiba, digapainya keheningan suci itu, yang berdiri diam di tengah gelora abad-abad keriuhan, sampai dia dipenuhi keyakinan, dalam ketidakterbatasan, ada makna kebebasan tertinggi, yang bergumam sekaligus bergetar: "biarlah kuberlindung pada sifat-sifat bajik di dalam diri'.

Soal ego, ketekunan, kelembutan Tagore, prestasi hidupnya sudah memberikan jawaban. Dan perjalanan Tagore ke Borobudur memberi inspirasi, siapa yang egonya terkendali, tekun berlatih, lembut sikapnya, maka tersedia sebuah tempat berlindung yang mengagumkan: sifat-sifat bajik di dalam diri.

Seperti pesan Dalai Lama: compassion is the best protection. Atau pesan tetua Jawa, orang bodoh kalah sama orang pintar. Yang pintar kalah dengan yang licik. Namun, ada yang tidak terkalahkan, yakni orang yang beruntung! Dan keberuntungan tertinggi tercapai ketika kebajikan membuat semuanya terlihat baik. Orang baik terlihat baik,
orang jahat terlihat baik karena kita cukup bajik.

Mungkin itu sebabnya stupa terbesar, teratas di Borobudur di dalamnya kosong (tanpa pesan) karena tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Selamat hari Waisak. Semoga semua memperoleh perlindungan dalam kebajikan.

Ditulis oleh: Gede Prama Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara
Sumber: Kompas

Labels:


Read more!

Komite Sekolah MANDIRI



Kepala SMK Negeri se Jakarta berkumpul di Wisma tugu Cisarua melakukan Workshop Komite Sekolah hari Rabu hingga jumat 30 Mei – 1 juni 2007, dibuka oleh Kabag TU dinas Dikmenti DKI Jakarta, Drs. H. Thahir Husein.

Materi yang dibahas mencakup AD & ART Komite Sekolah, Teknis Manajemen Komite Sekolah, AD & ART K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah).

Dalam pengamatan Saya, berdasarkan pengalaman beberapa tahun terakhir ini tampaknya Dinas Dikmenti DKI Jakarta berupaya lebih memberikan keleluasaan bergerak kepada Komite Sekolah, setelah sekian lama berupaya memberi "arahan", contoh, model atau petunjuk tentang pengelolaannya.

Selanjutnya masyarakat dan sekolah kini memegang kendali, apakah Komite Sekolah hanya akan menjadi alat menghimpun pembiayaan dari orang tua murid atau mampu mendorong kearah optimalisasi pendidikan, menuju masyarakat yang lebih cerdas dan sejahtera .... yuuuk

Tampak Pak Wurdono Kepala SMK Negeri 29 Jakarta serius sampaikan ide sambil acungkan tangan ditatap Bu Elfrida Kepala SMK Negeri 44 Jakarta, Pak yayat Hidayat Kepala SMK Negeri 4 Jakarta, Pak Waluyo Kepala SMK Negeri 6 Jakarta dari kejauhan ... serius sekali ...

Labels:


Read more!